">

Monday 16 July 2012

Ekonomi Islam Melawan Riba dan Kemiskinan Umat

Tujuan Ekonomi Islam

Ekonomi Islam sebagai salah satu bagian dari syariat, memiliki tujuan
sebagaimana tujuan syaruat yang lain, yaitu:

1. Memelihara Dinul Islam
2. Memelihara Jiwa.
3. Memelihara Akal.
4. Memelihara Keturunan.
5. Memelihara Harta.

Kelima tujuan ini menjadi muara semua elemen syariat. Dalam hal memelihara
dinul Islam, ekonomi memegang peran penting. Bahkan, ada harta yang
diberikan kepada muallaf oleh Rasulullah Shollaallahu Alaihi wa Sallam
agar agamanya kuat dan tidak mengganggu Islam.

Dalam hal memelihara jiwa, harta penting. Bahkan harta yang haram
sekalipun bisa didispensasi untuk dimanfaatkan dalam rangka memelihara
jiwa.

Dalam hal akal, harta juga penting. Pendidikan merupakan salah satu cara
memelihara akal seorang muslim agar tetap dalam garis fitrahnya.
Dalam hal keturunan, menikah membutuhkan mahar, dan mahar harus bisa
diukur secara materi, kecuali dalam kondisi darurat.
Adapun dalam hal memelihara harta, sistem ekonomi Islam bahkan sangat
menghargainya. Larangan riba, mencuri dan menipu merupakan bagian dari
perhatian Islam terhadap pemeliharaan harta seorang muslim.

Maka ekonomi Islam harus bisa memberi peran untuk terpenuhinya lima tujuan
syariah di atas. Jika ekonomi Islam hanya berkutat sebagai alat mencari
kekayaan duniawi dengan melupakan tujuan syariat yang lain, ia telah
keluar dari relnya.

Harus diingat, tercapainya kelima tujuan di atas harus dibingkai dengan
paradigma keumatan, bukan kebangsaan. Ekonomi Islam akan kehilangan
relevansinya jika dibingkai dengan paradigma kebangsaan.

Ekonomi Islam Ideal

Segala sesuatu harus ada ukuran idealnya, atau indikator keberhasilan.
Pertanyaan menarik; apa indikator ideal perjuangan menegakkan sistem
ekonomi Islam?
Sistem ekonomi Islam hanya ideal jika lahir dari rahim daulah Islam dan
diasuh olehnya. Sistem ini pada masa lalu disebut dengan Baitul Mal.
Intinya tentang mekanisme pengelolaan keluar dan masuknya harta dengan
menggunakan paradigma keumatan. Masuk bisa berasal dari umat Islam atau
dari non Islam, dan distribusinya dilakukan dengan mekanisme yang diatur
syariat demi kemaslahatan umat Islam.

Bank Islam (sebutan yang lebih populer di dunia Internasional untuk Bank
Syariah di Indonesia) hanya salah satu elemen dari lembaga usaha
berdasarkan Islam. Bank Islam sejauh ini belum bisa mewakili konsep Baitul Mal dalam peran dan fungsinya, sebab Bank Islam masih dimiliki swasta dan
mengemban misi mencari keuntungan bagi pemilik modal. Umat Islam yang
bertransaksi dengan Bank Islam, hampir sama dengan pembeli yang
bertransaksi dengan warung sembako. Bedanya, yang satu membawa nama Bank,
yang lain membawa nama warung. Bedanya lagi, jenis jasa yang diberikan

Bank lebih banyak dari jasa yang bisa diberikan warung sembako.
Bandingkan misalnya dalam hal transaksi murabahah. Pedagang di pasar
melakukannya. Transaksi mudharabah, bahkan menjadi tradisi kampung.
Transaksi musyarakah, beberapa orang juga bisa melakukannya. Toh intinya,
tak melanggar syariah dan sama-sama diuntungkan. Sehingga kehadiran bank
Islam di tengah komunitas muslim saat ini baru sebatas memberi alternatif
syariat untuk muamalah dengan perbankan, karena bagaimanapun bank Islam
adalah lembaga usaha seperti halnya lembaga usaha lain yang menghajatkan
profit.

Tapi bukan berarti kita hendak mengecilkan arti keberadaan Bank Islam.
Kemunculannya dan perkembangannya menjadi fenomena hingga kini, dan diakui
atau tidak, menjadi ancaman nyata bagi perbankan riba yang dikuasai Yahudi
dunia. Bahkan kritik dari beberapa kalangan terhadap praktek Bank Islam
tidak boleh membuat kita antipati terhadapnya. Wajar belaka, ia lahir
bukan dari rahim Daulah Islam dan tidak diasuh olehnya. Ia ibarat Musa as,
yang dibesarkan oleh sistem yang menjadi musuhnya sendiri. Maka jika ada
kekurangan dan kekeliruan sana sini, kita hanya boleh memberikan kritik
yang membangun dengan semangat husnu dhan kepada sesama muslim, bukan
kritik menjatuhkan. Tidak layak kita menjadi orang yang mengaku benar
hanya karena merasa bisa menemukan kekeliruan orang lain.

Sistem ekonomi Islam, atau Baitul Mal, memiliki peran yang sangat luas. Ia
laksana lumbung harta bagi umat Islam. Siapa yang mampu, berkewajiban
mengisi lumbung tersebut, dengan mekanisme yang telah diatur syariat dan
dijabarkan oleh para ulama. Sebaliknya yang butuh, dibantu dengan semangat
pemberdayaan dan pembelaan, bukan kezaliman. Baitul Mal agar memainkan
fungsi itu, harus menjadi lembaga milik pemerintah (Islam), bukan lembaga
individu atau swasta atau golongan tertentu yang masih dikendalikan oleh
kepentingan- kepentingan non keumatan.

Oleh karenanya, ekonomi Islam bukan hanya soal jual beli, murabahah,
mudharabah, musyarakah, salam, istishna, rahn, ijarah dan sebagainya yang
menjadi produk-produk Bank Islam, tapi juga mengelola zakat, wakaf,
shadaqah, kafarat, ghanimah, fai, kharaj, usyur, dharibah, infaq fi
sabilillah dan sebagainya dalam satu atap dengan bingkai keumatan. Juga
bagaimana mengatur pasar, timbangan, takaran, dan harga pada kasus
tertentu.

Pertanyaan yang layak direnungkan dengan seksama: bisakah sistem ekonomi
Islam dengan fungsi dan karakter demikian dimunculkan di tengah hegemoni
sistem politik yang bukan Islam? Mengingat mayoritas penduduk negeri ini
muslim?

Untuk muncul dalam sosok yang sempurna, dengan segera bisa kita jawab;
tidak. Sebab tak mungkin umat Islam mengelola pemasukan dari ghanimah,
fai dan usyur. Tapi masih bayak elemen lain yang masih bisa, misalnya
zakat, wakaf, sedekah, kafarat dan lain-lain. Pengguliran dana yang
terhimpun juga bisa beragam, sesuai dengan peruntukan masing-masing. Bila
dari sumber zakat, disalurkan dengan mekanisme yang diatur dalam zakat.

Bila wakaf, bisa disalurkan dengan mekanisme wakaf. Bila harta titipan
(tabungan) individu, bisa menggunakan berbagai variasi seperti dalam bank
Islam.

Seiring gema otonomi daerah, rasanya masih mungkin melahirkan embrio
ekonomi Islam di tengah komunitas muslim, tentu dengan dukungan pemerintah
daerah masing-masing, dan dengan ukuran sebesar daerah masing-masing.

Elemen Pendukung Ekonomi Islam
Istilah ekonomi Islam jangan langsung dihubungkan dengan uang. Ada
elemen-elemen pendukung yang menjadi bagian tak terpisahkan darinya.

Beberapa diantaranya:

1. Pengelolaan zakat.
Zakat hendaknya dikelola terpusat, bukan tiap orang menyerahkan sendiri
kepada orang yang dinilainya mustahiq. Pada zaman khilafah, dikelola oleh
Baitul Mal yang terpusat. Jika belum mungkin, bisa dikelola LSM atau
pemerintah daerah, agar asas pemerataan lebih terjamin.
Hikmah zakat dikelola oleh Baitul Mal, agar mustahiq tidak merasa
tangannya di bawah sebab yang memberi adalah negara sebagai bagian dari
tanggung-jawabnya terhadap rakyat. Berbeda jika zakat diberikan langsung
oleh muzakki kepada mustahiq, ia akan memiliki beban psikologis sebagai
tangan di bawah.

2. Pengelolaan wakaf
Wakaf adalah suatu harta yang dihilangkan status kepemilikannya dari
manusia menjadi milik Allah. Selain wakaf berupa tanah dan bangunan, kini
mulai dipopulerkan istilah wakaf tunai atau wakaf berupa uang untuk
digulirkan bagi kemaslahatan umat.

3. Pengelolaan harta non zakat dan wakaf
Harta non zakat dan wakaf banyak bentuknya seperti warisan yang tidak ada
ahli warisnya, sedekah, kifarat, infaq fi sabilillah, pinjaman murni dan
lain-lain.

4. Pengawasan pasar dan perdagangan.
Pasar merupakan pusat perputaran kekayaan, meski bentuk fisiknya
berkembang terus mengikuti perkembangan zaman. Pasar tempat orang
bertransaksi, dengan beragam bentuk. Sudah seharusnya bagi seorang muslim
memahami hukum yang berkaitan dengan perniagaan sebelum ia memulainya.
Selain itu, harus ada kontrol terus menerus terhadap aktivitas
perdagangan, misalnya kontrol terhadap takaran dan timbangan untuk
memastikan tak ada pihak yang dizalimi.

Salah satu yang perlu diperjuangkan adalah kembalinya emas dan perak
sebagai alat ukur nilai nominal suatu benda. Saat ini ukuran nominal suatu
benda sangat fluktuatif, karena alat ukurnya adalah rupiah yang bergerak
terus naik turun mengikuti situasi politik. Ketika seseorang meminjamkan
uang rupiah pada pada tahun 1996 sebelum krismon senilai 1 juta, lalu
tahun 2000 pasca krismon menerima pelunasan utangnya senilai 1 juta
juga, si pemberi pinjaman dalam posisi terzalimi karena 1 juta pada 2000
hanya seperlima nilai 1 juta pada 1996. Berbeda jika ia meminjamkan dalam
ukuran emas.

5. Pendidikan fiqh muamalat bagi umat
Cita-cita menegakkan sistem ekonomi Islam tak bisa dilepaskan dari
pendidikan masyarakat terhadap hukum-hukum fiqh seputar muamalat. Bahkan,
sebelum seseorang berdagang di pasar, ia harus memiliki sertifikat
kelulusan tes fiqh muamalat.

6. Memberantas semua praktek riba, gharar, maisir.
Memberantas riba diawali dengan penyadaran, lalu tawaran solusi, dan jika
tidak mempan, paksaan dengan kekuatan. Dominasi riba di negeri ini telah
merasuk hingga tingkat RT. Buktinya, kas RT jika dipinjamkan kepada
anggota, harus dikembalikan dengan bunga.

7. Menegakkan sistem peradilan Islam
Salah satu yang diperlukan dalam pelaksanaan sistem ekonomi Islam adalah
sistem peradilan Islam. Kasus-kasus dalam muamalat bisa diselesaikan
melalui peradilan ini, karena ia yang memahami karakter dan logikanya.
Adapun peradilan non syariat, logika yang mendasarinya tidak mendukung
konsep ekonomi Islam.

Melawan Riba

Melawan riba sudah pasti, karena larangannya muhkam dan menjadi ijma ulama
tak ada keraguan di dalamnya. Kalaupun ada masalah, bukan pada pengakuan
haramnya riba, tapi pada perbedaan pandangan apakah sesuatu itu riba atau
bukan. Satu pihak menyimpulkan hal itu riba, pihak lain mengatakan tidak.
Tapi sekiranya sesuatu itu disepakati sebagai riba, semuanya sepakat
haram.

Persoalannya, bisakah mengalahkannya? Mengingat riba hari ini dalam puncak
kedigdayaannya. Bukan lagi terjadi antar individu, tapi oleh negara bahkan
antar negara. Puncak hegemoni itu tentu dengan naiknya dolar sebagai
penguasa tunggal ekonomi dunia. Semua nilai harus tunduk pada dolar.
Hutang piutang harus diukur dengan dolar. Apapun komoditi harus dinilai
dengan dolar, bahkan emas dan perak sekalipun yang secara sejarah dan
sunnatullah sebagai alat ukur nilai nominal suatu benda.

Untuk kita, mengalahkan riba adalah karunia, tapi pekerjaan yang tidak
boleh berhenti adalah melawannya kapanpun dan di manapun. Allah telah
membekali kita dengan senjata mudharabah dan bentuk-bentuk lain yang
dijabarkan dalam fiqh, sebagaimana dalam politik Allah membekali kita
dengan konsep jihad fi sabilillah.

Setidaknya, kita bisa merumuskan beberapa strategi melawan riba, untuk
sekedar contoh bukan membatasi:

1. Diri kita sendiri harus mengerti apa itu riba, dan bertekad
meninggalkannya.

2. Keluarga kita harus dipastikan terhindar darinya.

3. Lingkungan RT, jika masih menggunakan mekanisme riba, kita harus ikut
mengingatkannya.

4. Mendidik masyarakat tentang hakekat riba, dan berupaya memberi solusi,
misalnya dengan mendirikan koperasi syariah atau BMT.

5. Menghindari urusan dengan bank yang beroperasi dengan sistem riba.

6. Mendukung penggunaan emas sebagai alat ukur nilai nominal dalam
utang-piutang.

Melawan Kemiskinan
Kemiskinan adalah keniscayaan kehidupan. Penyebabnya, bisa kultural, bisa
pula struktural. Tapi yang pasti, Allah telah memberi potensi rizki kepada
semua makhluq ciptaan-Nya, jika terbagi rata pasti tidak ada kemiskinan.

Dengan demikian, yang salah bukan Pencipta, tapi manusia karena ada yang
rakus saat ia menguasai pundi-pundi kekayaan.
Untuk yang bersifat struktural, konsep Baitul Mal bisa menjadi unsur
penting solusi. Tentu jalur politik tidak kalah penting, karena
kebijakan-kebijakan yang terkait ekonomi tunduk pada kalkulasi politik.
Sementara yang bersifat kultural, pendidikan dan pengajaran kuncinya. Nabi
Shollaallahu Alaihi wa Sallam pernah memberi seutas tali kepada seseorang
yang sebelumnya meminta-minta, dan diperintahkannya untuk mencari kayu.

Belakangan orang ini memiliki kepercayaan diri yang baik bahwa jika
berusaha ternyata ia juga bisa sebagaimana yang lain. Mental dan
kepercayaan diri menjadi unsur terpenting problema kultural.

Namun harus diingat, kebangkitan Islam bukan bertumpu pada kekayaan. Umat
Islam pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin mampu mendirikan negara
berdaulat dan menaklukkan Romawi dan Parsi bukan karena terlebih dahulu
kaya lalu bisa menang. Tapi yang terjadi, kekayaan mengikuti kemanapun
pedang berjalan. Justru karena bermula dari kemiskinan dan kerasnya
kehidupan, jiwa mereka terasah laksana batu karang yang kokoh.

Tapi yang lebih tepat, kita berupaya mengurangi porsi kekayaan orang-orang
kafir dan orang-orang yang benci Islam seminimal mungkin sebab jika mereka
menguasai ekonomi mereka akan menggunakannya untuk mengganggu Islam dan
umat Islam. Simak firman Allah berikut: (Åöäøó ÇáøóÐöíäó ßóÝóÑõæÇú
íõäÝöÞõæäó ÃóãúæóÇáóåõãú áöíóÕõÏøõæÇú Úóä ÓóÈöíáö Çááøåö ÝóÓóíõäÝöÞõæäóåóÇ
Ëõãøó Êóßõæäõ Úóáóíúåöãú ÍóÓúÑóÉð Ëõãøó íõÛúáóÈõæäó æóÇáøóÐöíäó ßóÝóÑõæÇú
Åöáóì Ìóåóäøóãó íõÍúÔóÑõæäó ) Sesungguhnya orang-orang kafir membelanjakan
hartanya untuk menghalangi jalan Allah, maka mereka akan membelanjakannya
(lagi), kemudian akan menjadi kerugian bagi mereka, kemudian akan
dikalahkan. Dan orang-orang kafir itu akan dikumpulkan di neraka Jahannam.
[Al-Anfal/8: 36]

Berkurangnya porsi penguasaan orang-orang kafir terhadap pundi-pundi
harta, tidak harus bermakna kekayaan itu dinikmati umat Islam. Sebab
sejarah juga mengajarkan kepada kita, godaan kekayaan dunia tidak lebih
mudah diredam dibanding malapetaka kemiskinan. Kekayaan hanya baik di
tangan pemerintah yang baik, masyarakat yang baik, pejabat yang baik,
keluarga yang baik, bahkan individu yang baik. Tentu baik di sini adalah
baik menurut Islam.

Allah mentaqdirkan Indonesia sulit beranjak dari kemiskinan barangkali
tersirat pesan hikmah di baliknya: menjadi peluang mendidik kader-kader
tangguh sebagaimana kemiskinan yang melilit jazirah Arab pada zaman Nabi.
Ingatlah orang bijak berpesan: peluang terbaikmu adalah saat ini, bukan
nanti. Tak ada rumusnya menunggu kaya baru berbuat.

Khatimah

Tak ada pencapaian besar tanpa berawal dari yang kecil. Menegakkan sistem
ekonomi Islam baru pada ayunan langkah pertama, masih jauh dari target
yang diharapkan. Melawan riba dan kemiskinan juga demikian.
Meruntuhkan bangunan riba, bukan semata terkait dengan aspek ekonomi.

Sebab sistem ekonomi riba menjadi satu paket dengan sistem politik
demokrasi dan kapitalisme. Keduanya menjadi urat nadi; riba menjadi urat
sistem ekonominya dan demokrasi menjadi urat politiknya. Melawan riba
dengan demikian bisa juga dilakukan dengan pendekatan futuhat islamiyah,
meski mata telanjang tak melihat adanya hubungan. Artinya, bagi yang
berjuang melalui jalur futuhat islamiyah, jangan dianggap ia tak ikut
menjadi pejuang ekonomi Islam.

Oleh karenanya, hendaknya masing-masing jalur saling menyamakan visi
dengan pola link and match (berjalin dan beriringan). Tidak produktif jika
saling sikut, toh idealisme yang dituju sama.

Tulisan ini kalaupun membawa manfaat semoga itupun sebatas penyadaran
secara wacana. Harus dilanjutkan dengan gagasan-gagasan riil yang langsung
menyentuh akar masalah. Allah memberi kita anugerah akal mengandung pesan
yang jelas: apapun problema yang dihadapi manusia, akan selalu ditemukan
jalan keluarnya.

Umat Islam tidak selayaknya selalu mengkambing- hitamkan sistem politik
yang menyebabkan mereka miskin. Bila sistem bisa dirubah agar lebih
berpihak kepada umat Islam, alhamdulillah. Jikapun tidak, kita tak boleh
berpangku tangan dan meratapi kemiskinan. Banyak orang yang mampu mentas
dengan izin Allah dari kemiskinan saat krisis ekonomi berkecamuk dan tak
adanya kebijakan politik yang pro wong cilik. Sekali lagi, inilah peluang
untuk mengasah ketangguhan dan kecerdikan.

Terakhir, mari kita aktualkan ArRum/30: 39 Dengan teriring harapan, semoga upaya
kita menegakkan sistem ekonomi Islam mendapat ridha dan pertolongan dari
Allah. Amien ya Mujibas Sailin.

Wallahu alam bis shawab.




sumber:islam is solution

No comments:

Post a Comment